Sapi yang Berlari Ke Arah Barat

sumber: swandhipainting.blogspot.com
Oleh: Set Wahedi

            Haji Inung tercenung. Di kepalanya seperti ada ribuan kalajengkin menggeroti. Pagi pun mengambang seburam kulitnya yang disengat matahari. Di matanya ada yang timbul tenggelam: potongan wajah Pak Kaleng, derai tawa Si Saleh. Sesekali derap kaki sapi. Gemuruh sorak sorai penonton di arena kerrapan1.
            Haji Inung belum percaya benar menyaksikan kandang sapinya. Sepi senyap. Hanya kegelisahan bergerak di sekitarnya. Seribu tanda tanya bergera. Pagi-pagi benar, Haji Inung menerima laporan Pak Kaleng. Si ‘gempol’, sapi jagoannya hilang. Tepatnya, mungkin musnah. Sebab, kata Pak Kaleng lebih lanjut, kandang tempat Si Gempol masih utuh sedia kala. Tak ada tanda-tanda Si Gempol melarikan diri atau dilarikan.
            “Kami kurang begitu paham Pak Ajji2. Semalam kami menjaga Si Gempol. Semalaman kami tidak tidur.” Tandas Pak Kaleng menjelaskan duduk persolannya. Pak Kaleng dan teman-temannya, yang selama ini merawat dan menjaga Si Gempol, juga belum percaya Si Gempol hilang tiba-tiba. Si Gempol raib tanpa jejak. Semalaman Pak Kaleng dan teman-tenamnya, menjaganya. Bahkan sekitar pukul dua belas lewat lima menit, Si Gempol melenguh. Melenguh seperti biasanya. Seperti hendak menyapa para penjaganya.
            Si Gempol, bagi Haji Inung tidak hanya hewan piaraan. Tidak hanya jagoan di arena kerrap. Kehadiran Si Gempol, dua belas tahun lalu, seolah menjelma titik muasal sejarah baru keluarganya dimulai. Waktu itu, Haji Inung masih berusia 17 tahun. Haji Inung masih lajang. Ia juga tidak memakai gelar haji.
            Berdasarkan keturunan, Haji Inung memiliki gen pangerrap3 dari keluarga ayahnya. Kakeknya seorang pengerrap handal. Buyutnya dikenal ahli sapi. Hanya ayah Haji Inung tidak begitu menyukai kerrap. Menurut ayahnya, kerrap itu bertentangan dengan naluri kemanusiaannya. Dengan keyakinan agamanya. Tapi di mata Haji Inung, tidak begitu. Kerrap telah menjadi faktor lain untuk memahami dirinya. Untuk membuat bangga dirinya. Juga masyarakatnya.
            Dengan kerrap, dalam benak Haji Inung, ia bisa berbicara tentang dirinya. Tanah kelahirannya. Bahkan tempat-tempat yang dianggap keramat. Tempat-tempat yang selama ini membuat masyarakatnya memiliki cadangan api semangat. Semangat untuk bertarung dengan laut. Semangat untuk bercocok tanam. Semanagat untuk menjaga harkat dan martabat. Dan  kerrap sejatinya tidak memiliki hubungan yang erat dengan semua itu. Kerrap, awalnya, hanyalah parade pesta habis panen. Tapi lama kelamaan, kerrap menawarkan warna lain: prestise! Kerrap menyisakan jejak lain: ritual kemenangan. Ritual dengan mengadakan selamatan, ngaji, atau mengunjungi tempat-tempat keramat.
            Seorang pangerrap, tidak hanya dikenal sebagai orang yang paham dan pandai tentang sapi. Seorang pangerrap, di mata masyarakatnya tumbuh menjadi seorang yang memiliki kharisma dan penngaruh yang cukup kuat. Terlebih, ketika ia mampu memperkerjakan beberapa orang, untuk mengurus sapi kerrapannya. Mengadakan ritual untuk kemenangan sapinya, atau melakukan tasyakuran saban sapinya memenangkan perlombaan.
            Waktu itu, umur Haji Inung 17 tahun. Ia  hanya iseng Ketika melihat Si Gempol muda. Haji Inung hanya ingat cerita kakeknya: sapi yang pantas dibuat kerrap yang memiliki kokot4 rapat. Haji inung hanya iseng membeli gempol muda.
            Tapi keputusannya membeli Si Gempol muda, ternayata tidak bisa membuatnya hanya iseng. Gara-gara Si Gempol muda, Haji Inung muda mendapat sorotan keluarganya. Terutama ayahnya, yang terang-terang menolak meneruskan trah keluargnya: pangerrap! Tapi haji inung, sudah kadung iseng. Sorotan dan cibiran orang-orang di sekitarnya, dianggapnya seperti angin lalu. Bahkan Cibiran itu, tak ubahnya bumbu keisengannya untuk meneruskan kegemaran kakeknya. Meneruskan trah dan silsilah keluarga yang bertahan puluhan tahun lamanya: sebagai pangerrap!
            Seperti halnya seorang pangerrap, mendapat tantangan dari keluarganya, Haji Inung tambah giat dan getol mengurus dan merawat Si Gempol muda. Mula-mula Si Gempol muda hanya diturunkan dalam perlombaan-perlombaan antarkecamatan. Dua tahun bergelut di perlombaan antar-kecamatan, Si Gempol telah menggondol tiga piala, dan membawa nama Haji Inung jadi buah bibir.
            Setelah dua tahun malang melintang di tingkat kecamatan, atas saran Haji Malek, teman sekaligus petaruh sapinya, Haji Inung membawa Si Gempol pada tingkat kabupaten. Waktu itu, Haji Inung berusia 20 tahun. Ia merupakan satu-satunya pangerrap termuda dalam perlombaan karesidenan5. Ketika Si Gempol mau berlaga di tingkat kabupaten inilah, Haji Inung mulai memperkerjakan Pak Kaleng, Pak Saleh dan sepuluh orang lainnya untuk mengurus dan merawat Si Gempol. Selain dua belas orang yang bertugas menjaga kebersihan dan menjadwal latihan pacuan Si Gempol, Haji Inung juga meminta Pak Sunawi untuk mengurus kesehatan dan kebugaran Si Gempol. Sedang urusan jamuan penguat stamina dan jampi-jampi, Haji Inung mempercayakannya pada Pak Haji Ali.
            Kehadiran dan kemenangan Si Gempol di setiap perlombaan, tidak hanya menjadi kebanggaan Haji Inung semata. Tetapi Si gempol telah menjadi simbol kebanggaan dan harga diri bagi masyarakat tanah kelahiran Haji Inung, Desa Cabbiya. Dengan Si Gempol, masyarakat Cabbiya bisa menepuk dada. Bisa berbangga membicarakan tanah tandus Cabbiya. Cabbiya tidak lagi menjadi desa yang sepi di malam hari. Desa yang gersang di siang hari. Cabbiya sudah punya Si Gempol.

            Hilangnya Si Gempol, sebenarnya, tidak ingin disiarkan. Haji Inung menginginkan masyarakat desa Cabbiya mengetahuinya seperti mereka mengikuti orbit jejak bulan.. Haji Inung takut, ribuan kalajengkin yang bersarang di kepalanya, juga menggerogoti masyarakat Cabbiya. Bahkan Haji Inung berencana mencari pengganti Si Gempol secepatnya, di samping berusaha mencarinya.
            “Pak Saleh, saya harap kabar ini dipendam dulu. Kita cari gempol baru. Bilang ke Pak Kaleng, pak Abdul dan lainnya untuk tidak cerita-cerita”
            “Tapi Anu Ajji. Sudah banyak yang tahu kalau Gempol hilang. Bahkan mereka juga ikut mencari Gempol”, jelas pak Saleh agak ragu. Mendengar penjelasan Haji Inung hanya bisa menyangga kepalanya. Di kepalanya, kembali ribuan kalajengking berkelejatan. Menggerogoti setiap sel dan pembuluh otaknya.  
            Kabar tetaplah kabar. Ia merambat begitu cepat. Secepat gerak udara memenuhi setiap degup dada. Bagi masyarakat Cabbiya, hilangnya Si Gempol seolah menjadi muasal awan hitam yang bergayut di langit. Ya, sejak Si Gempol hilang, lengkung langit Cabbiya muram. Di sana-sini, gumpalan awan, dengan berbagai bentuk mengepung. Masyarakat Cabbiya gelisah. Mereka berkasak-kusuk. Mereka bertanya-tanya: apa yang akan mereka bicarakan lagi setelah Si Gempol hilang? Apa yang akan mereka banggakan lagi? Si gempol telah hilang. Simbol kebanggaan telah raib.
            Sudah tujuh hari, sejak hilangnya Si Gempol, dilakukan pencarian. Sudah sekian pasar sapi di datangi. Sudah sekian pelosok di jelajah. Tapi Si Gempol benar-benar raib. Jejaknya benar-benar seperti ditelan bumi. Masyarakat Cabbiya pun benar-benar dipaksa merelakannya. Mayarakat Cabbiya hanya berharap Haji Inung menemukan Gempol baru. Haji Inung mengembalikan simbol kebanggaan dan harga diri mereka.
            Tapi Haji Inung hanya bisa menyanggah kepala. Haji inung hanya bisa menahan gelisah. Di kepalanya ribuan kalajengking tiada henti berkelejatan. Tiada henti menggerogoti saraf nalar pikirnya. Bahkan Haji Inung, kadang-kadang hilang ingatan. Ia, bahkan sudah tidak peduli dengan Si Gempol.
            Hingga pada suatu malam, saat jejak Si Gempol tak lagi membekas di dada masyarakat Cabbiya. Saat tayangan video perjalanan Si Gempol, siaran berita hilangnya Si Gempol, serta liputan pameran foto dan lukisan Si Gempol mampu mengganti kehadiran Si Gempol, masyarakat Cabbiya dikejutkan oleh derap Si Gempol. Derap yang mengguncang setiap inci tanah Cabbiya. Derap yang membuat badai dalam pusar dan getar udara langit Cabbiya.
            Di langit yang terang benderang. Di saat purnama mengawang, masyarakat Cabbiya disuguhi sosok Si Gempol yang berlari. Di langit Si Gempol berlari. Ia terus berlari. Berlari ke arah barat. Ya, di langit Si Gempol berlari ke arah barat. Ia seperti mempertontonkan kekuatan dan keperkasaannya. Si Gempol seperti ingin memupus rindu Haji Inung dan masyarakat Cabbiya. Tapi Si Gempol hanya berlari di langit. Si Gempol hanya mengawang. Si Gempol hanya terus berlari. Berlari ke barat.
            Sedang di barat, fajar mulai hitam. Langit mulai kelam…

Lidahwetan-muaragaram, April 2010


Catatan:
Kerrapan: balapan
Ajji: panggilan Hajji: Haji
Pangerrap: pembalap
Kokot: kikil

Karesidenan: piala tingkat kabupaten


Set Wahedi adalah seorang cerpenis asal Pinggir Papas Sumenep Madura, salah satu kontibutor di Peara. Buku antologi cerpennya yang sudah terbit adalah "Kepala yang Hilang", yang diterbitkan oleh dbuku bekerja sama dengan amper media, Agustus 2014
Previous
Next Post »

1 komentar:

Click here for komentar
Unknown
admin
11 April 2022 pukul 04.39 ×

Merkur & Ferencia: Merkur & Ferencia Merkur
Merkur titanium flat iron & Ferencia merkur - Merkur & Ferencia Merkur in Solingen, Germany - Merkur poormansguidetocasinogambling.com - Merkur Merkur - MERKUR 출장안마 - Merkur & Ferencia worrione Merkur https://febcasino.com/review/merit-casino/

Congrats bro Unknown you got PERTAMAX...! hehehehe...
Reply
avatar
Thanks for your comment