Zakat dan Masa Depan Orang Miskin

Oleh: Syarwini Syair


Zakat merupakan hak orang miskin yang wajib diberikan oleh orang kaya dari sisi harta benda[1]. Pelaksanaan zakat memiliki aplikasi sosial yang sangat fundamental terhadap pemberdayaan masyarakat miskin, yang sampai saat ini masih menjadi masalah penting yang belum menemukan titik terang penyelesaian. Masalah kemiskinan merupakan agenda utama yang harus diperioritaskan, di samping masalah lain yang tak kalah pentingnya.

Dalam kaitannya dengan persoalan kemiskinan tersebut, salah satu alternatif yang cukup rill adalah pemberian zakat. Sesuai terminologi hukum Islam, zakat merupakan rukun Islam yang wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat kewajiban membayar zakat. Akan tetapi, zakat tidak hanya sebatas kegiatan ritual keagamaan yang sekedar berfungsi menggugurkan keawajiban sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya. Lebih dari itu, zakat harus ditafsir sebagai pesan simbolis dari Tuhan yang memiliki jangkauan luas dari pada sekedar kegiatan seremonial belaka seperti yang berlangsung tahun-tahun ini. Dan lebih jelasnya, penulis akan mencoba mengurai konsep zakat ini dari sisi lain, yaitu dalam perspektif ekonomi dan sosial yang berdaya guna bagi masa depan orang-orang miskin.


Zakat dalam Pespektif Ekonomi
Pembayaran zakat memiliki implikasi ekonomi yang sangat berguna bagi pemberdayaan masyarakat miskin agar bisa keluar dari lingkaran kemiskinannya. Dalam prinsip Islam, setiap muslim memiliki hak individual dakam mengembangkan kegiatan ekonominya, akan tetapi dari hasil usaha yang didapat ada sejumlah nilai nominal tertentu yang wajib diberikan kepada orang miskin melalui zakat. Sehingga keberhasilan usaha tersebut tidak hanya dinikmati sendiri, tetapi disebarluaskan kepada mayarakat yang tak punya peluang usaha yang luas dan merdeka (masyarakat fakir-miskin) yang menjadi mayoritas penduduk Negara Indonesia[2].

Sistem ekonomi ini jelas punya perbedaan mendasar dengan sistem ekonomi kapitalis atau pun sosialis. Dalam ekonomi kapitalis, liberalisasi ekonomi dalam kaitannya dengan kebebasan individual dalam mejalankan usaha ekonominya tanpa ada batas yang jelas, sehingga mereka para kapital (pemilik modal) akan selalu berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan cara apapun dan tanpa ada rasa simpati dan kepedulian terhadap mereka yang gagal (kelompok proletar). Begitu juga dalam sistem ekonomi sosialis, prinsip sama rata sama rasa hanya dalam sektor kemilikan bersama alat-alat produksi sementara hasilnya mengalir ke kantong pribadi secara individual tanpa pembagian hasil yang adil[3].

Sementara Islam, dengan hukum zakatnya, memberikan sedikit hak kepada orang miskin untuk juga menikmati hasil usaha ekonomi saudaranya yang sukses, sehingga mereka juga ikut menikmati keberhasilan dan kebahagiaan[4].


Zakat dalam Perspektif Sosial
Salah satu kenyataan sosial yang tak bisa dibantah adalah adanya hukum stratifikasi[5] sosial yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas tertentu secara vertikal (tinggi rendah). Gejala ini dilatarbelakangi oleh adanya penghargaan masyarakat yang berlebihan terhadap sesuatu, dan masuk dalam kategori ini adalah harta benda. Sehingga kemampuan usaha ekonomi seseorang yang berbeda-beda akan menghasilkan stratifikasi di bidang ekonomi dengan polarisasi kelas kaya, menengah dan kelas miskin yang menempati urutan paling rendah.


Dalam kasus ini, zakat akan menjadi pendorong terjadinya interaksi sosial antara masyarakat kaya dan miskin. Sehingga di antara dua kelompok sosial tersebut tidak terdapat jarak yang jauh, yang terkadang menjadi tumbuhnya eksploitasi terhadap kelompok-kelompok yang rendah. Berbagai diskriminasi hukum dan sosial yang sering menimpa orang-orang miskin merupakan satu bukti akan tiadanya kepedulian orang-orang kaya terhadap kesejahteraan lahir batin kehidupan kaum dlu’afa. Padahal, apalah arti kekayaan mereka kalau tidak ada orang-orang kecil yang miskin. Meraka menempati stratifikasi tertinggi dari sisi kekayaan karena di belakang itu ada orang-orang miskin. Semua merupakan fadlilah Tuhan yang diberikan kepada hambaNya. Oleh karena itu, jangan sampai disikapi dengan sombong, yang salah satu bentuknya adalah menolak membayar zakat yang menjadi hak orang miskin. Wallahu A’lam Bisshawab !


[1] Pengertian ini saya ambil dari kitab “Bidayatul Mujtahid” karya Ibnu Rusyd
[2] Masyarakat masih tergolong sebagai Negara miskin yang masih punya ketergantungan yang kuat pada Negara-negara Barat yang lebih maju. 
[3] Sosialisme tidak mengakui hak pribadi dalam kepemilikan sektor produksi, tapi tidak dalam hasil produksi. Lihat “Lembaga Hidup” karya Prof. Abuya Hamka 
[4] Salah satu alasan mengapa zakat fitrah harus diberikan pada orang miskin sebelum shalat hari raya, agar mereka juga merasakan kebahagiaan dalam menyambut hari raya. Sehingga semua kalangan bisa bergembira bersama-sama, bukan hanya golongan yang kaya saja. Lihat “al-Jawahiru an-Naqiyah” karya Syekh Ibrahim al-Banhawi.
[5] Stratifikasi sosial ada sejak zaman pra sejarah yang telah membagi manusia dengan kelompok-kelompok dan saling bertikai. Di zaman modern, stratifikasi semakin jelas dengan munculnya revolusi industri yang dampaknya merebak ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sehingga stratifikasi pun menjadi bagian dari system social yang permanent. Lihat J. Nasikun dalam “Sistem Sosial Indonesia”
Previous
This is the oldest page

1 komentar:

Click here for komentar
Unknown
admin
27 Mei 2013 pukul 20.06 × Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
avatar
Thanks for your comment