Oleh: Henny Jufawny
Krisis lingkunan hidup, baik sosial maupun
material, botik abiotik, telah mulai membayangi masyarakat Madura pasca
Suramadu yang terus tersudut oleh gelombang neoliberalisme. Proyek-proyek
investasi dan pembangunan yang disponsori pihak asing, semakin menggiring
masyarakat Madura beserta kebudayaannya pada areal yang semakin kelabu. Tanpa
ada dialog miltikultural dan rekonsiliasi struktural, masyarakat Madura harus
siap-siap untuk kehilangan kuasa dalam mengatur rumah tangganya sendiri,
terutama terkait dengan tata ruang dan detail wilayah, di darat maupun di laut.
Geliat investasi asing yang dijalankan negeri ini
hampir membuat miris semua kalangan, tak terkecuali yang terjadi di Madura.
Bukan hanya persoalan pengalihan hak milik dan fungsi lahan, dari masyarakat
setempat ke pemiliki modal (kapital asing), dari lahan pertanian dan perkebunan
ke pertambangan dan tambak udang, tetapi lebih pada pengrusakan lingkungan dan
selanjutnya pada pertengkaran kebudayaan. Semua terjadi begitu sistematis,
bahkan sistemik dan terus menjalar ke berbagai suprastruktur secara vertikal
dan horisontal.
Mulai munculnya krisis lingkungan di Madura, walau
belum separah di daerah lain, sebenarnya merupakan tanda adanya krisis yang
paling fatal, yaitu krisis kemanusiaan, bahkan kekhalifahan. Alangkah mudahnya,
ribuan hektar tanah terjual dengan harga murah ke pihak investor (lagi-lagi
asing), dan mereka melakukan berbagai aktivitas bisnis yang merugikan pihak setempat
dan merusak lingkungan sekitar, tanpa ada perlawanan yang berarti dan selamat
dari belutan regulasi. Seorang guru saya, Syarwini Syair, pernah berdawuh dalam
sebuah kajian: “Kalau kalian menjual semua tanah dan memasrahkannya di tangan
orang-orang asing, lalu di mana kalian akan mengerjakan tugas kekhalifahan?
Allah menciptakan kita semua sebagai khalifahNya di bumi, bukan dilangit. Kalau
kita sudah tidak punya tanah, maka kita akan gagal jadi khalifah!”.
Kosmologi Masyarakat Madura: Sebuah Tinjauan
Metafisis
Kosmologi berhubungaan dengan paradigma terhadap
alam (kosmos). Paradigma ini, apalagi yang berlaku dalam sebuah komunitas
tertentu (termasuk Madura), tidak akan terlepas dari segala apa yang berlaku di
dalam masyarakat itu sendiri: nilai-nilai, tradisi, agama dan (secara umum)
kebudayaan. Semua itu merupakan unsur-unsur yang saling berkelindan membentuk
senyawa-senyawa antara, salah satunya adalah paradigma dan sikap hidup.
Proses persenyawaan unsur-unsur tersebut, bisa
saja melahirkan ekses-keses negatif, dan hal ini wajar selama masih menjadi
sebuah proses yang terus berlangsung, bukan akhir yang sudah final. Terlebih
lagi ketika festival globalisasi meruntuhkan sekat-sekat primordial dan
batas-batas kultural, yang memungkinkan setiap masyarakat berbaur dalam satu rumah
bersama: masyarakat global. Masyarakat Madura jadi bertetangga dengan orang-orang
Cina dan Timur Tengah, sebagaimana Eropa dan Amerika juga menjelma seperti
kerabat dekat, meskipun berada dalam wilayah teritorial yang jauh dan jelas
berbeda. Inilah baik buruknya globalisasi yang meniscayakan adanya tafsir ulang
(reinterpretasi) secara lebih kritis dan istiqamah terhadap paradigma-paradigma,
terutama pandangan kita (masyarakat Madura) terhadap alam (kosmologi).
Di Barat (baca: Eropa dan Amerika) kosmologi hanya
terhenti pada aktivitas sains yang didasarkan pada metode ilmiah yang sangat
positivistik. Secara umum, realitas kosmik dilihat sebagai realitas materi
dengan hukum-hukum yang tetap dan kerja mekanistik, sehingga bisa dipahami
secara rasional dan digeneralisasi, yang dibahasakan oleh Newton dengan world
as a machine (Maimun, 2015:119). Pandangan ini, sedikit mengebiri peran
Tuhan sebagai pengatur alam (mudabbir al-alam), yang hanya diibaratkan
sebagai pembuat jam yang tidak punya peran lagi setelah jam selesai dibuat. Jam
akan beroperasi secara mekanis dan mandiri sesuai hukum-hukum yang sudah
ditetapkan oleh si pembuat jam.
Berbeda dengan masyarakat Madura, alam dipandang
sebagai media pelaksanaan tugas kekhalifahan. Pandangan ini bersemubur dari
kebudayaan masyarakat Madura sendiri yang sarat dengan ajaran agama Islam,
dengan banyaknya pesantren yang bertebaran di lintas wilayah, kota sampai
pedesaan (pedalaman dan pesisiran). Dengan demikian, alam dan gejalanya tidak
bisa dilepaskan dari eksistensi Tuhan sebagai pencipta dan pengatur alam
semesta. Artinya, seperti yang disampaikan oleh Syarwini Syair, pandangan
masyarakat Madura terhadap alam (kosmologi), tidak hanya berdasarkan ilmu yang
rasional, tetapi juga hikmah (filsafat) yang teransendental (metafisis).
Medan operasi kosmologi masyarakat Madura memiliki
spektrum yang sangat luas dan tidak terlepas dari kesadaran religiusitas.
Aktivitas apapun yang bersentuhan dengan alam, masyarakat Madura selalu
mengawali dan mengakhirinya dengan perangkat-perangkat riligius, semisal doa.
Sebelum menanam benih tananam pertanian dan membangun rumah, masyarakat Madura
terbiasa mengadakan selamatan atau doa bersama, begitu juga saat mereka panen
atau bangunan rumah selesai. Sama halnya ketika mereka melaut, bahkan
berdagang. Para petani, nelayan, peternak, pedagang di Madura memiliki doa-doa
khusus terkait dengan profesi mereka masing-masing dalam ekosistem alam
semesta. Menurut mereka, alam (manusia dan lingkungan) tidak hanya ditundukkan
dengan ilmu, tetapi juga doa (metafisis). Dalam hal ini, realitas kosmik atau
realitas duniawi yang dimaksud adalah dunia sejauh yang kita alami seutuhnya
yang tidak hanya terbatas pada benda mati (fisiokimis), tetapi juga seluruh
makhluk hidup, sebagai objek material kosmologi (Bakker, 1995:28)
Konsep kosmologi sebagaimana dipaparkan di atas, tumbuh
dari aneka ragam nilai-nilai (terutama agama) dan tradisi yang kompleks dan
berlangsung sangat lama. Ini tidak bisa dilihat secara simplistik dengan pola
pandang yang dikotomis, bahkan kerangka penilaian yang hanya mengedepankan
hitam putih, ontentisitas yang dilawankan dengan heresi tidak akan pernah
menjelaskan secara utuh realitas kehidupan masyarakat Madura (A’la, 2004:6). Masyarakat
Madura tidak bisa dipisahkan dari agama dan budaya mereka, dalam membangun
paradigma terhadap kosmis, atau bahkan dalam berbagai paradigma yang lain.
Aktivitas kealaman merupakan pengejawantahan dari kesadaran kekhalifahan yang
dijalankan dalam rangka mencari dan mendapatkan perkenan (ridla) Tuhan Semesta
Alam.
Tradisi Maulid dan Krisis Ekologi
Maulid nabi adalah salah satu tradisi keagamaan
yang berkembang di Madura dengan melekat erat pada struktur kebudayaan
masyarakatnya. Tradisi keagamaan adalah salah satu tafsir terhadap dimensi
normatif Islam yang terikat oleh ruang dan waktu, dan biasa dikenal dengan
sebutan Islam historis. Menurut Azra (1999:11-12), agama sejarah menampakkan
diri secara nyata dalam bentuk little tradition, atau local tradition
yang termanifestasikan dalam masyarakat, di mana Islam sebagai agama normatif
dan great tradition yang menjadi konsepsi realitas mengakomodasi
kenyataan sosial budaya masyarakat.
Tradisi maulid nabi menjadi semacam ekstase
masyarakat Madura sebagai wujud aktual dari kegembiraan atas keliharan sang
nabi teladan sepanjang zaman. Secara syariat, nabi Muhammad sudah meninggal
dunia lebih empat belas abad silam, tapi secara hakikat, beliau senantiasa
hidup di hati orang-orang yang selalu mencintainya. Maka pembacaan shalawat
dalam tradisi maulid, harus pandang sebagai ungkapan rasa cinta dan luapan
kerinduan dalam keharmonisan budaya. Bukan ajang pengkultusan dengan ritual
tertentu yang sangat gampang dituduh sesat dan bid’ah.
Shalawat adalah permohonan rahmat atas nabi,
keluarga dan shabatnya, yang secara teologis juga kepada kita yang mempercayainya.
Rahmat harus diolah sedemikian rupa menjadi berkah, yang berupa kebaikan yang
melimpah, untuk ditransfer ke berbagai lini kehidupan dan lingkungan alam
sekitar. Bukankah keberadaan nabi merupakan simbol atas kasih sayang (rahmat)
Allah kepada seluruh alam? Lalu bagaimana mungkin kita berbalik punggung pada
kerusakan alam sementara kita adalah orang-orang yang senantiasa bershalawat
menyanjung nabi? Rahmat dan keberkahan adalah muatan utama keselamatan yang
menjadi misi Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, baik keselamatan kemanusiaan
maupun lingkungan alam.
Oleh karena itu, nabi selalu berpesan dalam setiap
peperangan untuk tidak merobohkan bangunan, merusak lingkungan dan membunuh
binatang. Ini menunjukkan betapa besar perhatian nabi terhadap kelestarian
lingkungan meskipun dalam keadaan perang. Sementara shalawat merupakan upaya
untuk bisa merahmati, mulai dari diri sendiri sampai pada lingkungan yang
ditempati. Sehingga tercipta hubungan harmonis dan sismbiosis mutualisme antara
manusia dan alam sesuai prinsip ekologi yang bersumber dari pandangan keagamaan
sebagaimana ditemukan dalam kebudayaan orang-orang Madura.
Adalah kebohongan besar apabila tradisi bermaulid
dan shalawatan sebagai ungkapan cinta kepada sang nabi tidak melahirkan sikap
peduli terhadap kelestarian lingkungan. Bagaimana bisa disebut mencintai,
apabila tidak sanggup meneladi sikap hidup sang kekasih? Cinta kepada nabi yang
mendasari pelaksanaan maulid adalah cinta pada diri nabi dan ajaran-ajarannya
yang teraktualisasikan dalam setiap perilakunya (Syair, 2015:16). Shalawat
harus menjadi spirit dalam membangun paradigma terhadap alam (kosmologi), agar
nabi sebagai pembawa rahmat Tuhan bagi seluruh alam, benar-benar dapat
dilabuhkan secara wajar dan merata. Krisis ekologi yang sudah mulai tampak di
beberapa titik di Madura, seperti di beberapa lokasi di derah pantura Kabupaten
Sumenep dengan adanya pembangunan tambak udang, bilamana tidak menggugah hati
orang-orang Madura, maka ekstase bershalawat hanyalah sebuah manipulasi belaka.
Begitulah adanya: tradisi maulid yang berisi shalawatan
telah melahirkan nilai-nilai dalam kebudayaan Madura yang menjadi pedoman
membangun paradigma terhadap alam. Kerusakan alam akibat aktivitas usaha yang
dikembangkan oleh pihak asing di Madura harus segera dihentikan dengan spirit
shalawat, dan tetap melalui jalur regulasi yang semestinya. Eksploitasi
terhadap alam harus digantikan dengan upaya yang lebih eksploratif dengan tetap
memperhatikan keseimbangan ekosistem dan habitat lingkungan. Apapun namanya,
mulai dari penambangan, tambak udang atau mungkin reklamasi pantai, dan
aktivitas lainnya yang tidak bersahabat dengan alam adalah sebuah sebuah
pelanggaran etika kemanusiaan dan kekhalifahan yang tidak bisa dimaafkan.
ConversionConversion EmoticonEmoticon