Oleh: Bintu Assyatthie
Kehidupan sosial dengan segala persoalannya menjadi topik hangat
yang sampai saat ini belum menemukan titik temu penyelesaian.Realitas sosial
mencitrakan banyak kekacauan berupa kenakalan remaja[1]
yang seleweran di pinggir jalan, kekisruhan politik[2]yang
semakin berkecamuk dari masa ke masa serta semakin membeludaknya jiwa apatis
terhadap berbagai problematika yang melanda negeri ini.Tindakan-tindakan amoral
dan asosial, baik dari kalangan terpelajar dannon-pelajar,menjadi sangat akrab
untuk selalu diamati dan dipertanyakan: Apa sebenarnya penyebab utama dari
semua itu? Sehingga, sampai saat ini sulit untuk membedakan antara individu
yang pernah belajar dan tidak sama sekali.
Persoalan yang cukup pelik dapat penulis ungkapkan di sini ialah krisis
nilai-nilai kemanusiaan yang bergerak pada berbagai dimensi kehidupan. Salah satu
contoh fenomenal dalam hal ini ialah kesenjangan antara pengetahuan dengan
perilaku. Banyak orang ‘tahu’, tetapi pengetahuan tersebut hanya berhenti di ranah
konseptual tidak pada ranah kontektual. Sehingga tidak ayal lagi jika banyak
para penggerak politik mulai dari tingkatan yang paling rendah sampai pada tingkatan
tertinggi,kurang mencerminkan pengetahuan yang dimiliki. Banyak penyelewengan
yang terjadi seperti korupsi yaknipenyelewengan hak dan kewajiban,pembelian
suara yang lumrah dilakukan jauh sebelum pemilu dilaksanakan dan seterusnya.Itulah
awal munculnya kekacauan politik yang kemudian berpengaruh buruk pada kehidupan
sosial secara luas.
Maka dari itu, jika ditilik secara kritis penyebab utama terjadinya
problematika dalam kehidupan sosial, titik tekannya adalah manusia. Sehingga
internalisasi nilai-nilai merupakan keniscayaan dalam rangka mewujudkan
generasi yang memiliki tanggung tanggung jawab sosial sebagai solusi
konstruktif bagi berbagai permasalahan yang dihadapi.Di sinilah pendidikan
memainkan peran pentingnya dalam rangka memberikan respon terhadap fenomena
sosial yang terjadi. Karena pada dasarnya, pendidikan merupakan proses
penyadaran eksistensi manusia sebagai hamba dan khalifah.Pengertian tersebut memberikan
implikasi cukup luas mencakup segala aspek kehidupan. Karena, keberadaan
pendidikan menjadi ruh yang mampu menghidupkan jiwa manusia untuk melihat
eksistensinya sebagai makhluk yang diciptakan dengan dua posisi penting: hamba
dan khalifah.
Penyadaran Eksistensi: Hamba dan Khalifah
Berangkat dari pemahaman makna pendidikan, istilah yang sering
disamakan ialah tarbiyah, ta’lim danta’dib. Secara prinsip
ketiga istilah tersebut memang tidak dapat dibedakan yakni sumber utama
pendidikan adalah Allah swt. dan didasarkan pada prinsip ajarannya. Perbedaan
istilah tarbiyah, ta’dib dan ta’lim, pada dasarnya hanya dari segi sudut pandang saja. Kata tarbiyah
berasal dari kata rabb atau rabba yang mengacu pada Allah swt
yaitu rabb al-alamin. Sedangkan ta’lim berasal dari kata ‘allama
yang merujuk pada Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Alim. Begitu pula dengan ta’dib
yang memperjelas bahwa sumber utama pendidik adalah Allah swt.[3]
Berawal dari konsep itulah penulis memberikan pengertian bahwa dalam pendidikan
ada upaya untuk ‘menyadarkan’ manusia terhadap dua eksistensi utama (hamba dan
khalifah) yang memberikan kontribusi
tersendiri pada semua sektor kehidupan.
Tumbuhnya kesadaran adalah inti dari proses pendidikan yang
dijalankan. Suatu pendidikan dikatakan berhasil apabila mampu menyadarkan
manusia pada dua eksistens tersebut. Kedudukan manusia sebagai hamba (‘abdun)dan
khalifah merupakan bentuk pengabdiannya kepada Sang
Khalik.Hanya saja perbedaannya terletak pada perwujudan sikap dari keduanya. Maka
dua kesadaran itulah yang menjadi tugas penting pendidikan untuk dimunculkan pada
setiap diri manusia. Sehingga pada proses selanjutnya, keberadaan lembaga
pendidikan memiliki makna atau menjadi wadah yang mampu mewujudkan generasi
handal baik dari segi ilmu maupun amal. Karena sejatinya, dalam ruang gerak
aplikasi ilmu dan amal adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Hamba dan khalifah merupakan amanah dari Allah untuk dijalankan
secara proporsional. Tugas hidup manusia sebagai hamba merupakan realisasi dari
mengemban amanah dalam arti memelihara tugas-tugas kewajiban dari Allah yang
harus dipatuhi, pengukuhan nilai-nilai tauhid serta aktualisasi ke-tauhid-an
dalam perilaku sehari-hari. Sedangkan khalifah merupakan realisasi dari
mengemban amanah dalam arti memelihara, memanfaatkan atau mengoptimalkan
penggunaan segala anggota badan, alat potensial (termasuk indera dan akal) atau
potensi-potensi dasar manusia guna
menegakkan keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup.[4]
Terlaksananya tugas kekhalifahan merupakan perwujudan dari pengabdian
manusia kepada Tuhan (hamba). Tugas kekhalifahan tersebut dikembangkan dalam
bentuk tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, keluarga dan kemakmuran alam
sekitar.[5]Untuk
menyadarkan manusia terhadap dua eksistensi itu, dibutuhkan pendidikan dalam
rangka mengarahkan dan membimbing guna tercapainya tujuan tersebut.Karena,
banyaknya persoalan yang terjadi hingga detik ini, salah satu penyebab terbesar
ialah mayoritas lembaga pendidikan tidak menempatkan dirinya sebagaiharapan utama
masyarakat yang mampu menghasilkan individu-individu yang memiliki keluhuran
budi serta mau bergerak untuk kemaslahatan umat.
Anies Baswedan sebagai mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan
bahwa tugas terpenting pendidik (guru) bukan hanya mampu memahamkan, tetapi mampu
menginspirasi dan menggerakkan.[6]Dari
ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa pendidik yang hanya berhenti pada ranah
memberi pemahaman (transfer of knowledge), menjadi ruang hampa yang tak
bermakna, jika tidak dibarengidengan pergerakan sebagai bentuk aktualisasi dari
pemahaman yang dimiliki.Penerapan pendidikan tidak sekedar learning to know,
tetapi lebih pada learning to dohingga akhirnya bermuara pada learning to be. Penulis berargumentasi bahwa banyaknya lembaga pendidikan saat
ini, bukan solusi utama dalam menyelesaian berbagai problematika yang terjadi,
tetapi malah menambah beban sosial yang berkepanjangan.Keresahan juga dirasakan
oleh Syarwini Syair dalam sebuah artikelnya, ia mempertanyakan: Kemana para
lulusan, para sarjana yang telah dibekali dengan beragam ilmu? Kenapa negeri
ini masih begitu kaya dengan permasalahan-permasalahan yang semakin mencuat dan
tak terselesaikan?[7]
Lahirnya generasi yang kurang bertanggung jawab terhadap
keilmuannya dan terjadinya krisis nilai-nilai kemanusiaan menandakanbahwa ada
kesalahan dari proses pendidikan yang dijalankan. Selama ini, pendidikan hanya
berkisar dalam bentuk penyampaiandan pemberian contoh saja tanpa berupaya
serius untuk menjadi contoh. Karena sejatinya, aplikasi dari pendidikan adalah dimodelkan
oleh para pendidik dan ditampakkan melalui sikap dan perilaku nyata sehari-hari.
Jadi, segala materi yang akan disampaikan pada peserta didik telah tercemin
dalam dirinya.
Praktek pembodohan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tidak
lain hanya karena arah yang dituju bukan untuk menyadarkan peserta didik pada
eksistensi utamanya yaitu sebagai hamba dan khalifah, tetapi menekankan proses
pendidikannya pada kepuasaan intelektual tanpa menyentuh ruang emosional yang
menjadi sumber lahirnya akhlak baik pada Tuhan (sebagai hamba) dan manusia
serta alam semesta (sebagai khalifah).
Penyadaran akan eksistensi hamba dan khalifah sebagai titik akhir dari
proses pendidikan perlu dilakukan secara bertahap, agar pendidikan yang
diberikan sesuai dengan tingkat kematangan setiap individu yang belajar.[8]Penyesuaian
tersebut memberi kemudahan akan tercapainya suatu tujuan dari setiap tahap yang
ditempuh. Karena, untuk menumbuhkan kesadaran sebagai hamba dan khalifah tidak
bisa dilakukan secara spontan, tetapi memerlukan usaha yang dilakukan secara
sistematis dan bertahap. Titik tekan pendidikan adalah ‘hati’, maka posisi
pendidik hendaknya membimbing, menunjukkan serta mengarahkan peserta didik pada
tercapainya kesadaran dua eksistensi tersebut. Maka, tumbuhnya kesadaran itulah
output dari suatu lembaga pendidikan yang diharapkan oleh masyarakat
secara umum.
Eksistensi manusia sebagai hamba dan khalifah merupakan amanah yang
Tuhan berikan kepada setiap manusia. Karena jika
ditelusuri secara kritis, kesadaran pada dua eksistensi tersebut
memberikan implikasi yang cukup besar bagi seluruh aspek kehidupan. Karena, tumbuhnya
kesadaran akan senantiasa menggerakkan manusia untuk menyadari tugas dan
tanggung jawabnya baik secara vertikal maupun horizontal. Selainitu, kesadaran
juga menjadi pemicu utama yang mendorong manusia untuk bersikap dan berperilaku
layaknya individu yang benar-benar terdidik dengan landasan Islam.
Pendidikan dalam Berbagai Perspektif
Implikasi-implikasi globalisasi, pada dasarnya mencakup dimensi ekonomi,
politik, hukum, ilmu pengetahuan, budaya dan agama. Fenomena memprihatinkan
yang bisa dicermati tengah melanda masyarakat modern saat ini adalah munculnya
prantek-praktek pereduksian fungsi pendidikan. Akurasi pendidikan hanya
distandarkan pada upaya-upaya penyiapan tenaga kerja (praktisi) yang
berorientasi materialistik semata, dengan dalih untuk mendukung industrialisasi
dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kuantitas besar produk-produk teknologi.[9]
Zamroni mengungkapkan bahwa salah satu alternatif yang dapat
dilakukan adalah mengembangkan kepribadian yang berwawasan global.[10]
Dunia pendidikan harus melakukan reformasi dengan tekanan menciptakan sistem
pendidikan yanglebih komprehensif dan fleksibel. Sehingga para lulusan dapar
berfungsi secara efektif dalam kehidpan masyarakat global. Untuk itu,
pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan peserta didik
mengembangkan potensi utama yaitu sebagai hamba dengan senantiasa mengesakan
Tuhan dan khalifah yang diwujudkan dengan tanggung jawab sosial. Dimensi tauhid
ini yang menjadi sangat krisis di era globalisasi ini,
yang kemudian merambat pada moralitas manusia yang semakin tak menentu.[11]
Berangkat dari makna pendidikan sebagaimana yang telah dipaparkan
di atas, menjadi begitu umum jika dikaitkan dengan beberapa istilah khusus
berikut ini: pendidikan politik, pendidikan ekonomi, pendidikan keluarga,
pendidikan Islam dan seterusnya. Pertanyaan yang barangkali muncul ialah: Bagaimana
konsep penyadaran eksistensi jika disejajarkan dengan beberapa sektor kehidupan
tersebut? Lalu, seperti apa aktualisasi hamba dan khalifah dalam menyikapi
beberapa sektor kehidupan yang telah disebutkan?
Pendidikan seharusnya mampu menyentuh segala sektor kehidupan mulai
dari keluarga, politik, ekonomi, budaya dan seterusnya. Selama ini, pendidikan
hanya bergerak sesuai tuntutan pasar dengan melupakan unsur-unsur Ilahiyah
untuk dijewantahkan dalam bentuk kesadaran menjadi hamba dan khalifah. Ada
upaya pemurnian tauhid sebagai modal awal untuk masuk pada dua eksistensi manusia
yang dimaksud. Hal ini yang kemudian dikatakan bahwa pendidikan menjadi ruh
kehidupan sepanjang masa. Jadi, kehidupan pada sektor keluarga, ekonomi,
politik dan budaya akan menjadi sangat naif dan memilukan jika tidak gerakkan
oleh orang-orang yang memiliki jiwa ke-hambaan dan ke-khalifahan. Karena, hanya
dengan ruh itulah berbagai sektor tersebut bisa hidup dan berjalan sesuai nafas
Islam.Persoalannya saat ini, bagaimana ruang aplikasi dari jiwa ‘hamba dan
khalifah’ pada berbagai sektor kehidupan?
Kekacauan dalam kehidupan keluarga, ketidakadilan dalam suatu
sistem ekonomi, keculasan dalam sektor politik serta kekacauanan dalam bidang
budaya menjadi tanda bahwa tidak adanya atau sangat sedikitnya individu yang
menempatkan dirinya sebagai hamba yang senantiasa patuh pada perintah Tuhan,
dan sebagai khalifah yang selalu memberikan kemaslahatan dalam segala bidang
kehidupan. Karena, penguasaan terhadap beragam disiplin keilmuan saja tidak
cukup, tanpa dibarengi dengan upaya untuk
mengamalkan pada konteks kehidupan.
Kehidupan keluarga, ekonomi, politik dan budaya memerlukan
individu-individu yang mampu mengabdi pada Tuhan sebagai Pemilik segalanya.
Kesadaran sebagai ‘abdun’ ini akan senantiasa mengarahkan pelaku pada
perilaku-perilaku terpuji yang di dalamnya mengandung
nilai-nilai islami. Tertanamnya kesadaran tersebut akan mendorong
terealisasinya kesadaran manusia sebagai khalifah. Aplikasi kesadaran ini lebih
pada pemenuhan tanggung jawab sosial dengan menciptakan kedamaian dan
kesejahteraan yang saat ini sudah mulai terkikis, serta mencari solusi
konstruktif dalam menyikapi problematika kehidupan yang semakin kacau.
Sehingga, tidak ada lagi (atau paling tidak dapat meminimalisir) penyelewengan hak dan kewajiban yang mengecewakan hati rakyat,
kenakalan remaja yang meresahkan publik dan komunitas individu yang apatis
terhadap keharmonisan umat.Wallahu a’lam!
Daftar Pustaka
Arifi,Ahmad. 2010. Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi
dan Aktualisasi Pendidikan Islam di tengah Arus Globalisasi. Yogyakarta:
Teras.
Arifin, Muzayyin. 2010. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT. Grafindo
Persada.
Muhaimin. 2008. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Syair,Syarwini. 2009. Sekolah Asal-asalan: Mengurai Problematika
Pendidikan Kita. Jurnal Jhatmika, Edisi Pertama, Pesantren Alam Raya Lapa
Daya Dungkek Sumenep.
Zamroni. 2000.Paradigma Pendidikan Masa
Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
[1]Kenakalan
remaja yaitu tindakan-tindakan amoral para pelajar yang sering menimbulkan
keresahan serta permasalahan sosial. Beberapa kenakalan remaja yang sering
terjadi ialah pemerkosaan, tawuran antar pelajar, pencabulan dan
sejenisnya.Kasus kenakalan remaja, salah satunya, terjadi di Kota
Padang, Sumatera Barat yaitu sebanyak 25 muda-mudi yangmengganggu
ketertiban umum, kemudian diamankan oleh PP. Selengkapnya lihat di https://m.merdeka.com/peristiwa/ganggu-ketertiban-umum-25-muda-mudi-diamankan-satpol-pp.html.
[2]Kekacauan
politik salah satu contohnya adalah korupsi
berupa penyelewengan hak dan kewajiban yang banyak melanda negeri ini khususnya
di daerah Madura ialah penyelewengan sejumlah jatah beras untuk orang miskin
(raskin) yang hampir menyeluruh pada semua kabupaten. Kasus yang cukup
fenomenal ialah tindak korupsi penggelapan raskin yang terjadi di Desa Lapa
laok Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep, sehingga berakhir pada pencabutan
jabatan Kepala Desa sebagai konsekuensi dari tindak korupsi yang dilakukan. Lihat
http://korankabar.com/kades-lapa-laok-diberhentikan. Kasus serupa
terjadi di Desa Poteran Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep. Begitu pula di Kecamatan
Waru Kabupaten Pamekasan menyandang kasus yang sama. Sementara itu, di daerah
Sampang juga terindikasi korupsi penyelewengan program tebu senilai Rp 29
milyar yang dilakukan oleh tiga kelompok tani (poktan).Lihat selengkapnya di http://youthproactive.com/201503/speak-up/korupsi-di-pulau-madura.
[3]Jalaluddin, Teologi
Pendidikan (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003), 73.
[4]Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2008), 21.
[5]Ibid., 23.
[6]Ungkapan Anies
Baswedan tentang idealisme guru yang mampu ‘menginspirasi dan menggerakkan’,
disampaikan dalam bentuk sambutan pada malam puncak Festival Film Indonesia
(FFI) di Tangerang Selatan, Banten,
tepatnya pada tanggal 23-11-2015 kemarin. Lihat berita selengkapnya di https://m.tempo.co/read/news/2015/11/24/079721728/hari-guru-anies-baswedan-guru-harus-menginspirasi.
[7]Syarwini Syair,
Sekolah Asal-asalan: Mengurai Problematika Pendidikan Kita (Jurnal
Jhatmika, Edisi Pertama, Pesantren Alam Raya Lapa Daya Dungkek Sumenep, 2009),
3.
[8]Muzayyin
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), 94.
[9]Ahmad Arifi, Politik
Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di
tengah Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras, 2010), 137.
[10]Zamroni, Paradigma
Pendidikan Masa Depan (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000), 91.
[11]Jalaluddin, Teologi
Pendidikan, 94.
ConversionConversion EmoticonEmoticon