Oleh:
Siti Raudatul Hanifah[1]
A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang menjadi
urat nadi modernisasi dengan
variabel yang mengiringinya, telah melahirkan
kotradiksi-kontradiksi sosiokultural yang berujung pada disintegrasi humanistik. Asumsi ini diperkuat dengan banyaknya temuan-temuan
baru bidang sains dan teknologi, yang tidak hnaya dapat membantu aktivitas kehidupan
manusia menjadi lebih ringan, cepat dan mudah, tetapi (dan ini yang paling
penting) juga “murah”. Kemurahan ini selalu berkait dan berkelindan dengan
nilai-nilai yang terus mengalami distorsi besar-besar dan direduksi maknanya
menjadi sekedar kebutuhan sekunder, bahkan tersier. Sehingga, makna denotatif
kata “murah” lebih merujuk pada kualitas hidup yang kurang bernilai, dan
sekedar menjadi konsumen pasif produk-produk sains dan teknologi semata.
Problematika
IPTEK dewasa ini, merupakan sebuah keniscayaan yang sudah masuk ke dalam
berbagai lini kehidupan manusia, dan memaksa semua pihak untuk segera
menanganinya. Selain dapat membawa manusia ke arah yang lebih maju dan modern
(itupun menurut versi yang dianulir begitu saja dari Barat), IPTEK seringkali
tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita sosial yang dibangun di atas
kontruksi tradisi dan kearifan lokal.
Kearifan lokal adalah moral sosial dan
akumolasi nilai-nilai yang menjadi sistem berpikir dan bertindak secara sadar,
baik individual maupun komunal. Hadirnya teknologi seperti internet, dengan
tanpa mengesampingkan manfaat dan kegunaannya, dapat merusak sitem moral dan
nilai-nilai, dengan memuat berbagai konten negatif yang dapat diakses secara
bebas. Meskipun pada dasarnya setiap hasil karya teknologi bersifat netral,
tidak berafiliasi dengan nilai-nilai etika dan estetika, ketika masuk ke ranah
publik, teknologi selalu membawa dampak perubahan yang secara kasat mata sering
kali berbenturan dengan mainstream dan religiusitas dan kearifan lokal.
Ini dapat dilihat dari naluri IPTEK yang memiliki tujuan untuk mempermudah dan
memanjakan manusia, sehingga menjadikan manusia akan semakin malas dan lebih
tertarik dengan dunia maya dari pada dunia nyata.
Pada hal
seharusnya, pesatnya perkembangan sains dan teknologi menjadikan kita
senantiasa lebih cerdas dan selektif agar tidak terjebak dalam ruang dilematis
sebagai akibat dari penggunaan teknologi yang salah. Teknologi harus sejalan
dengan asas-asas manfaat yang semakin menopang taraf hidup masyarakat yang
lebih baik sesuai dengan latar belakang stratifikasi sosialnya masing-masing.
Bukan sebaliknya, membelokkan kecanggihan teknologi dengan menggunakannya untuk
hal-hal yang negatif, bahkan tidak sesuai dengan ajaran agama yang menghendaki
umat mansuia, agar senantiasa menjadi pribadi yang berilmu dan beramal soleh
sesuai ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Quran.
Lantas, siapa
yang akan “turun gunung” untuk mendaur ulang tatanan kehidupan yang sedang
ringkih di tengah kemelut sains dan teknologi? Haruskah membatasi perkembangan
IPTEK yang seperti air bah, atau kita harus membuat bendungan-bendungan moral
dan tauhid yang kuat untuk menampung dan mengalirkannya secara proporsional? Bisakah
membangun kualitas hidup yang lebih baik tanpa sains dan teknologi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut
memerlukan jawaban yang tidak sederhana, dan sebagai upaya untuk “mencari
jawaban” (ingat, bukan “jawaban”), tulisan ini dihadirkan. Akan tetapi, sebagai
intelektual muslim, tentunya mempunyai tanggung jawab untuk, paling tidak,
mampu memberikan contoh bagaimana
seharusnya memanfaatkan kecanggihan tekhnologi dengan tetapi berpijak pada
nilai-nilai, norma dan kebeneran agama.
Bertolak dari permasalahan
di atas, penulis akan membahas mengenai bagaimana sebenarnya tanggungjawab
seorang intelektual muslim dalam menghadapi perkembangan tekhnologi yang
semakin pesat ini. Sehingga dengan adanya tekhnologi yang sangat canggih, kita
dapat mendayagukan kea rah perubahan yang dikehendaki dengan spirit keislaman
yang rahmatan lil’alamin.
B. Pembahasan
Seorang ilmuan,
intelektual muslim, ulama atau apapun sebutannya, tidak bisa serta merta
berdiam diri dalam keilmuanya tanpa melakukan tindakan sosial sebagai
tanggungjawab akademik dan regiusitasnya. Mereka tidak bisa memisahkan diri
dari realitas sosiokultural yang melingkupinya, terlebih saat arus teknologi
semakin menggila dalam menggilas dan melibas kebudayaan kita dengan jargon
globalisasi dan peradaban modern. Setidaknya, mereka harus bertanggungjawab
dalam merealisasikan tiga amanah berikut:
1. Tanggung Jawab Aksiologis :Rekonstruksi
Nilai-Nilai
Aksiologi
adalah bidang kajian filsafat yang menyelidiki nilai-nilai (values). Nilai adalah ukuran tentang benar-salah,
baik-buruk dan indah-jelek. Secara praktis, aksiologi merupakan cabang filsafat
ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.[2]
Bahkan, lebih khusus lagi, pertanyaan yang berkaitan dengan aksiologi adalah
apakah yang baik atau bagus?.[3]
Nilai adalah acuan moral: cara
bertindak yang tidak hanya harus benar, tetapi bernuansa baik dan sebisa
mungkin indah, dari segi muatan, cara dan dampaknya. Nilia-nilai selalu berubah
sejalan dengan gerak dinamis kehidupan manusia itu sendiri. Pesannya sudah
jelas: nilai-nilai ini menuntut para ilmuan muslim untuk selalu merekontruksi
ulang, sesuai konteks ruang dan waktu, dengan tetap memperhatikan
universalitasnya.
Sama halnya dengan nilai, perkembangan
IPTEK yang sangat canggih merupakan hasil dari kreativitas dan inovasi manusia.
Manusia yang memiliki pengetahuan yang selalu dapat mengembangkan kapasitas pengetahuannya
menjadi ilmu dan teori-teori sains yang melahirkan karya teknologi. Keduanya
(baca: nilai dan IPTEK) bisa saling berjalan beriringan, atau bertabrakan satu
sama lain.
Para ilmuan muslim yang menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam satu sisi, dan memahami
nilai-nilai keislaman di sisi lain, adalah orang yang paling bertanggungjawab untuk
senantiasa merekontruksi nilai-nilai sebagai basis penerapan teknologi. Keduanya
harus saling menyesuaikan dengan membentuk relasi simbiosis mutualisme secara
seimbang. Nilai harus terbuka pada karya teknologi, dan teknologi harus sejalan
dengan nilai-nilai, sehingga bisa saling bersinergi dalam membangun.
Oeh karena itu, sebagai intelektual muslim
hendaknya bisa membangun kembali nilai-nilai kebenaran, kebiakan dan keindahan sebagai
pijakan moralitas perkembangan dan penerapan teknologi di masa depan. Contoh
sederhananya adalah perkembangan teknologi informatika yang telah melahirkan
pesawat telepon, handphone, dan internet. Menghadapi itu semua, harus
sudah ada nilai-nilai yang jelas menjadi pijakan sebelum bermunculan
persoalan-persoalan krusial yang meresahkan.
Maksudnya
bisa dipertegas di sini: jangan menunggu ada kejadian kawin lewat telepon, baru
kita repot merujuk kembali nilai-nilai soal perkawinan. Lebih jauh lagi,
nilai-nilai tersebut sudah harus bisa menjawab beragam pertanyaan: apakah
dengan melalukan video call bersama tetangga atau kerabat, sudah
dianggap cukup mewakili nilai silaturrahim yang mensyaratkan adanya kunjungan
rumah dan tatap muka? Apakah bisa melaksanakan shalat berjamaah yang tidak satu
tempat dengan imam, dengan perantara internet?
2. Tanggung
Jawab Saintifik: Eksplorasi Sains Qurani
Sepanjang sejarah Islam, rekonstruksi peradaban muslim secara
esensial merupakan suatu proses elaborasi pandangan dunia dan keislaman.
Peradaban muslim tidak lebih ditentukan oleh masa sejarah atau ruang geografis
tertentu, ketimbang oleh ajaran-ajaran Qur’an dan Sunnah yang berfungsi sebagai
stimulus eksternal. Peradaban muslim merupakan sebuah kontinum sejarah: ia ada
pada masa lampau, ada pada masa kini, dan akan ada di masa depan. Setiap
langkah menuju masa depan memerlukan elaborasi lebih jauh mengenai pandangan
dunia Islam, sebuah invokasi atas prinsip-prinsip dinamis ijtihad yang
memungkinkan peradaban muslim mampu mendengarkan situasi-situasi yang selalu
berubah.
Proses rekonstruksi peradaban muslim
sama artinya dengan menghadapi tujuh tantangan yang sudah dikemukakan. Proses
ini tidak menyangkut “mengislamkan” disiplin ini atau itu, tetapi memasukkan
ekspresi-ekspresi eksternal peradaban muslim kedalam mode epistemologis Islam
dan metodologi syariah. Ini mencakup pengelaborasian pandangan dunia Islam dan
pemanfaatan matriks konseptual, yaitu tepat dari jantung Qur’an dan Sunnah.
Dalam hal ini,
diperlukan upaya-upaya penyadaran kepada umat Islam secara keseluruhan akan
pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin
berkembang dan maju. Kepada umat Islam harus diberikan pemahaman yang
komprehensif tentang perhatian Islam yang begitu dalam akan pandangan
keduniawian, khususnya bidang IPTEK ini. Bahwa akhirat itu lebih kekal, dan
oleh karenanya lebih penting untuk diperhatikan, tidak berarti harus menafikan
dunia.
Pentingnya
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapan Islam perlu disosialisasikan
lebih intens kepada umat Islam sehingga umat Islam tidak hanya fasih dalam
ibadah saja, tapi juga mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh Sardar, hal ini
diungkapkannya dengan istilah perluasan syari’ah ke dalam domain-domain
kontemporer, seperti perencanaan lingkungan dan perkotaan, kebijaksanaan sains
dan penaksiran teknologi, partisipasi masyarakat dan pembangunan pedesaan. Di
sini, peran para da’i dan aktivis iolmuan muslim sangat strategis di mana
merekalah ujung tombak bagi sosialisasinya ide-ide rekonstruksi peradaban ini
di tengah-tengah masyarkat luas.
Sebagaimana
dijelaskan Sardar, dalam melakukan upaya rekonstruksi peradaban Islam, ada enam
hal penting yang perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan. Keenam hal ini secara ringkas
adalah:[4]
a. Pembangunan peradaban dengan melihat
pertumbuhan ekonomi masyarakat.
b. Pembangunan
yang mencakup partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi.
c. Pembangunan ini
tidak semata-mata peniruan terhadap struktur dan kebijaksanaan negera-negara
maju.
d. Proses
industrialisasi tidak boleh hanya mencangkok aktivitas-aktivitas industrial
tertentu dari negara-negara maju. Ia harus disertai dengan penguasaan
teknologi.
e. Tidak
semata-mata alih teknologi, tetapi juga dengan membangun infrasktruktur sains
dan teknologi yang berupa sumber daya manusia (SDM), ilmu pengetahuan, keahlian
dan kemampuan inovatif dan produktif untuk menyerap dan mengadaptasi teknologi
impor.
f. Memiliki kemampuan dasar untuk riset dan tidak
puas hanya dengan literatur sains negara-negara maju.
Menurut hemat penulis, seorang ilmuan atau sainstis muslim, mempunyai
tanggung jawab untuk selalu mengembangkan kemampuan dan keilmuannya yang
sejalan dengan nafas Al-Quran, sebagai syarat membangun peradaban. Sejarah
sudah membuktikan pencapaian umat Islam di masa silam, dengan lahirnya
kota-kota peradaban seperti Baghdad, Cordoba dan Damaskus yang menjadi pusat
ilmu pengetahuan yang berhasil merubah wajah dunia, termasuk Eropa yang sampai
saat ini masih berhutang budi kepada Islam.
Al-Quran sudah berbicara
banyak hal, meskipun secara implisit, sementara tugas kitalah yang menerangkan
secara eskplisit berupa teori-teori sains dan teknologi sebagai tugas
eskploratif kemukjizatan Al-Quran. Sebagai contoh, Al-Quran sudah mewartakan
bahwa langit dan bumi pada awalnya bersatu, lalu Allah pisahkan keduanya. Lalu
lahirnya teori big bang tentang asal mula alam semesta yang cetuskan oleh
ilmuan Barat, yang seharusnya ditemukan oleh ilmuan muslim sesuai dengan
informasi dalam Al-Quran.
3. Tanggung Jawab Transendental: Menuju Kesadaran
Tauhid
Model transendental merupakan salah satu pendekatan teologi kontekstual yang melihat bahwa realitas bukan sebagai yang "ada di
luar" dan lepas dari pengenalan manusia, melainkan berada pada dinamika
kesadaran diri.[5]
Melalui kesadaran diri, diharapkan munculnya pengenalan terhadap realitas diri
yang sejati sebagai jalan spiritual menju ruang transcendental: Tuhan dengan
segala kesempurnaanNya.
Kesempurnaan Tuhan di sini, dapat
diteliti dalam keteraturan dan keunikan alama semesta sebagai karya luhur
ciptaanNya. Namun, untuk bisa ke arah sana, jelas diperlukan bantuan sanis dan
teknologi sebagai alat atau media menemukan aneka ragam ketakjuban alam semesta
yang membawa pada kesadaran tahuid: semua bermula dari Allah dan akan kembali
kepadaNya.
Sains dan teknologi atau IPTEK
hanya sekedar berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan, bukan akhir dari
dari pergulatan pemikiran manusia. Sebagai sarana, IPTEK tidak boleh melupakan
dimensi metafisika (spiritual), yang akan menjadikan produk-produknya sebagai
pemangsa nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana ini menjadi persoalan umum
masyarkat modern.
Pada tataran ini, tanggung jawab
intelektual muslim untuk menjadikan IPTEK sebagai sarana menuju kesadaran
tauhid (ketuhanan) mendapat tantangan yang (sebanarnya) tidak terlalu berat. Sudah
terlalu banyak bukti-bukti sejarah, tentang para ilmuan non muslim yang
menyatakan keislamannya karena faktor penemuannya sendiri. Seperti Jacques Yves Costeau, seorang ahli selam
dari Prancis, yang masuk Islam karena menemukan sekelompok air tawar yang segar
di tengah-tengah lautan tanpa bercampur seolah ada dinding gaib yang membatasi,
sesuai dengan informasi al-Quran dalam surat Al-Furqon ayat 53 : “Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir
(berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain masin lagi pahit; dan
Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.”
Tentu masih
banyak contoh yang lain, namun yang penting adalah semua penemuan sains yang
menakjubkan seharusnya merupakan pintu menuju kesadaran ilahiah yang tinggi.
Sebab bila tidak demikian, semua kemajuan yang dicapai di bidang sains hanya
akan membawa manusia pada penghambaan (baca: pemberhalaan) terhadap karya-karya
sanis dan teknologi. Inilah masa jahiliyah tahap selanjutnya.
[1] Mahasiswi PBA
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, semester 3 kelas E Tahun 2016
[2] Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu
Pengantar, Indeks, (Jakarta: 2008), hlm. 91
[4] Ziauddin
Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau informasi, (Bandung:
Mizan, Mei 2012), cet. ke-1, hlm. 81-82.
[5] Stephen B. Bevans. Models of Contextual
Theology. (USA: Orbis Books).
ConversionConversion EmoticonEmoticon